Full Day School.
Sore itu sekitar jam 3 lebih saya melintasi kawasan Sekolah Dasar Negeri (SDN) didaerah Pandan wangi - Malang.
Kawasan yang biasanya sepi disore hari, kini tampak ramai dg anak2 berseragam merah putih semenjak adanya program Full Day School.
Tampak penjual jajanan cilok, cimol, batagor, sosis goreng, dsb diserbu oleh anak2 sekolah yg terlihat kelaparan. Padahal makanan2 ini kurang hygienis dan bahan2nya tdk diawasi oleh pihak sekolah.
Beberapa anak dengan wajah lesu ada yg pulang dg berjalan kaki, ada yg naik angkot dan ada yg hanya duduk2 termenung mungkin menunggu jemputan orang tuanya.
Hati ini terasa teriis sedih melihat pemandangan ini, bagaimana kesehatan anak2 ini, dimana umumnya pada usia2 mereka ini memerlukan asupan gizi/energi lebih apalagi harus sekolah dari pagi hingga petang, bagaimana laparnya mereka sehingga menyerbu penjual jajanan seadanya depan sekolah yg mungkin tidak hygienis/bergizi dengan bahan2 tanpa pengawasan dari pihak manapun. Betapa capeknya sekolah dari pagi sampai petang, mereka tidak memiliki masa bermain, tidak pernah tdur siang dan pulang sekolah pun sendiri tanpa jemputan serta tidak diperhatikan orang tuanya.
Masjid dibelakang rumah yang biasanya setiap pukul 4 sore dipenuhi anak2 mengaji pun kini tampak lengang dan sepi.
Ini terjadi karena sudah tidak ada waktu lagi bagi anak2 untuk mengaji dimasjid pada sore hari sedangkan sekolah saja pulang jam 3 lewat.
Saya tidak tahu apakah disekolah "Full day" sudah ada pelajaran Mengaji setiap hari (Baca Al-Quran bagi muslim). Seperti kita ketahui disekolah2 dasar negeri biasanya dalam satu sekolah cuma ada 1 guru agama yang biasanya juga tidak kompeten untuk mengajar ngaji, bisa dibayangkan apa mungkin satu guru agama mengajar ngaji untuk satu sekolahan. Kalau sudah begini sungguh berdosa pencetus sekolah "Full Day" karena akan lahir jutaan generasi muslim yg tidak bisa baca Al-Quran. Beranikah beliau mempertanggung jawabkanya di hadapan Allah SWT.
Interaksi anak dengan orang tua, kawan2 sebaya/tetangga di kampung semakin berkurang dan mengarah pada individualisme karena waktu habis disekolah sehingga hanya mengenal kawan2 satu sekolah saja.
Para orang tua yang kurang mampu juga harus mencari dana lebih karena uang jajan yg meningkat dan bekal makanan.
Dalam hati saya bersyukur krna termasuk generasi beruntung dimana masa2 bermain tidak dihabiskan untuk belajar dari pagi sampai petang.
Saya menduga pencetus dan pendukung "FULL DAY SCHOOL" adalah orang perkotaan dengan tingkat ekonomi yg sudah mapan dan waktunya (baik suami/istri) banyak dihabiskan ditempat kerja sehingga tidak bisa mengurusi anak pada siang hari.
Mereka seolah lupa kalau masih banyak penduduk Indonesia yang masih kesulitan ekonominya, sehingga terkadang seorang anak harus membantu orang tuanya bekerja untuk biaya sekolah dan mencukupi kebutuhan hidup.
Kita tidak menutup mata bahwa justru anak2 mandiri inilah yang saat ini banyak meraih kesuksesan dengan caranya sendiri.
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang 5 Hari Sekolah (Full day school) memang sudah dibatalkan oleh Bpk Presiden Joko Widodo.
Bpk Jokowi mengatakan "Yang mau full day silahkan dan yg tidak mau silahkan" menurut saya pernyataan ini masih kurang tepat.
Tentu saja sekolah2 yang belum full day akan merasa ketinggalan pelajaran dibanding sekolah full day dan harapan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah favorit juga akan kalah, sekolah yg belum full day juga akan dianggap sekolah jelek dan dibawah standar. Dengan demikian sekolah yg belum full day tidak akan diminati para orang tua atau meraka terpaksa harus menerapkan full day juga agar tidak ketinggalan dan untuk menaikan gengsi sekolahan.
Konon full day school akan diisi dengan progam "Penguatan karakter", menurut saya ini hanya sia2. Pelajaran tata krama/karakter akan sangat membosankan jika disampaikan secara teoritis.
Dulu kami didesa ketika ujian pelajaran agama dan pendidikan pancasila banyak yg nilainya jeblok dan kalah dg anak2 perkotaan, akan tetapi dari sisi penerapan justru anak2 desa lebih baik agama dan rasa nasionalismenya.
Jadi penanaman karakter yg terbaik adalah belajar pada orang tua langsung dirumah, masyarakat dan ulama di masjid2, bukanya secara teoritis saja disekolahan.
Full day school mungkin menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat perkotaan dengan ekonomi mapan dimana kedua orang tua sama2 bekerja. Golongan ini bisa memilih sekolah2 swasta favorite bagi tujuan tersebut, sehingga tidak perlu hantam kromo semua sekolah harus full day. Kita harus menyadari bahwa di sekolah2 negeri kebanyakan orang tua adalah golongan kurang mampu yang belum siap dg konsep full day.
Saya pribada tidak keberatan konsep Full day school bagi anak2 yang kedua orang tuanya sibuk bekerja.
Kalau memang pemerintah berkeras untuk menerapkan sekolah full day sebaiknya dimulai dari jenjang SMP keatas, karena secara fisik anak usia SMP sudah bagus dan pelajaran baca Al-Quran bisa dilakukan selama 6 tahun pada saat sekolah dasar.
Sebelum menerapkan full day school pemerintah juga harus melakukan audit terlebih dahulu untuk sekolah yg akan menerapkanya:
1. Infrastruktur termasuk tenaga pengajar harus mendukung (Sarana dan prasarana).
2. Sekolah menyediakan food catering yang bergizi.
3. Penjual jajanan anak harus diawasi atau dilarang jika mengandung bahan2 berbahaya.
4. Bagi yang rumah jauh, harus ada antar jemput atau orang tua wajib jemput dan perlu ada hukuman jika terlambat jemput (Jgn membuat anak sedih menunggu atau pulang dg wajah loyo).
5. Sekolah dg konsep tuntas (Sudah Mengaji bagi muslim dan tidak ada PR ataupun kursus tambahan) agar anak pulang sekolah tinggal bermain dan istirahat.
Jadi Bpk Presiden harusnya MELARANG Full day School apabila sekolah tidak memenuhi kriteria diatas, tidak cukup hanya mengatakan "yang mau full day silahkan dan yg tidak mau silahkan". Banyak sekolah atau orang tua yang tidak siap, namun demi gengsi sekolah mereka menerapkan full day school sehingga yang menjadi korban adalah anak2.
"SELAMATKAN ANAK INDONESIA DARI BUTA HURUF AL-QURAN, KEHILANGAN MASA BERMAIN DAN KEKURANGAN GIZI".