Laman

Sabtu, 20 November 2021

TB Kelenjar merenggut nyawa putriku di musim pandemi COVID-19

Wajahnya yang cantik di usia 11 tahun.

Kamis, 02 September 2021 jam 0354 pagi, putriku yang berusia 11 tahun menghembuskan nafas terakhirnya di Ruang PICU RSxxxx kota Malang.

Hati terasa hancur, mata meneteskan air mata, tenggorokan terasa sakit, dada seperti sesak. Ketika mengenang kepergiannya.

Akan tetapi kami tidak mengucapkan hal-hal buruk yang mencerca takdir Allah SWT.

Saya seorang pelaut yang jarang berjumpa dengan putriku, bahkan pada saat lahiranya pun saya tidak bisa menemani istri akibat tugas berlayar. Teringat ketika masih bayi sewaktu pulang berlayar dari Malaysia, awal-awal sampai rumah putriku dengan malu-malu mengintipku sambil memeluk mamanya. Mungkin dia heran melihatku tiba-tiba ada disampingnya.

Saat itu dia tidak begitu dekat denganku, dia justru lebih dekat dengan kakeknya yaitu mertuaku. Seiring waktu aku berhasil dekat dengan putriku, bahkan Ketika pergi berlayar ada beberapa bajuku yang tidak dicuci untuk dibuat selimutnya, ketika dia mulai rindu memanggil-manggil namaku. Biasanya saat dia tiba-tiba mulai bertanya-tanya “kapan abi pulang cuti, ini kan sudah 3 bulan dan waktunya cuti, kenapa masih belum pulang?”, dia selalu hafal dan menghitung lamanya kontrak kerjaku. Jika sudah begini, mamanya menyelimutkan bajuku yang belum dicuci tersebut ditubuhnya saat tidur. Dan anehnya dia pun bisa tidur dengan lelap.

Oktober 2020 aku berangkat berlayar ke Saudi Arabia yaitu ketika gelombang pandemi Covid-19 menjadi momok mengerikan bagi dunia, kontrak kerja yang biasanya hanya 3 bulan pun molor dikarenakan susahnya mendapat pengganti akibat pandemi yang tidak kunjung berakhir sehingga bepergian ke Negara-negara lain menjadi sulit dilakukan dan berimbas kepada pelaut susah untuk pulang ke Negara asal.

Akhir bulan Maret 2021, saya mendapat kabar putriku mulai sakit batuk dengan intensitas ringan dan malam harinya demam ringan 37.5 - 38 derajat. Kami pikir itu sakit flu biasa, setelah mamanya membawa dia berobat ke dokter umum sakitnya pun sembuh.

Bulan Mei 2021 gejala sakitnya terulang kembali, lagi-lagi kusuruh mamanya untuk bawa berobat ke dokter umum dan dia pun sembuh. Saat itu dia masih ceria, nafsu makan sangat baik, namun dia mulai kurang bergairah dan banyak tiduran.

Awal bulan Juni 2021 saya pulang berlayar dari Saudi Arabia. Sakit putriku kambuh lagi yaitu batuk dengan disertai demam ringan yang timbul tenggelam, malam berkeringat, dan ada benjolan kecil mulai tumbuh di leher kiri bawah telinga.

Saya pun segera membawanya ke dokter spesialis anak, oleh dokter diberi antibiotik dan paracetamol. Dua minggu berlalu sakitnya tidak kunjung sembuh, kami pun kembali kontrol berobat. Karena sedang pandemi maka dia di swab RT PCR untuk memastikan bukan COVID dan hasilnya negative.

Mulailah dilakukan screening TB, Rongsent Thorax, test darah lengkap, test sputum BTA dahak, dan darah IGRA.

Satu-satunya test yang menyatakan positif TB hanya test darah IGRA, sedangkan rongsen thorax hasilnya ada kesan pneumonia ringan namun tidak spesifik TB, 3x test sputum BTA dahak MTB Xpert/Rif Assay pun hasilnya negatif.

Mamanya pun shock dan menangis karena hasil diagnosa dokter menyatakan TB Kelenjar. Saat itu kami betul-betul buta dengan penyakit TBC, hanya pernah dengar dan membaca sekilas semasa sekolah tentang penyakit mengerikan ini. Saya pun mencari informasi seputar TB dari google, konsultasi dengan dokter paru dan dokter anak pada aplikasi ALODOKTER, dan mendownload pedoman tata laksana TB anak. Dari sini saya pun optimis putriku dapat disembuhkan karena TB sudah ada obatnya dan yang terpenting adalah patuh/disiplin minum obat.

Saya tahu ini bukan penyakit sembarangan, maka saya pun memulai pengobatanya dengan berpuasa 9 hari penuh dan mulai merukyahnya setiap hari dengan membacakan Al-Fatihah, Ayat Kursi, Al-Ihlas, Al-Falaq, dan An-Naas sebanyak 7x setiap pagi dan petang.

Kami tinggal disebuah perumahan yang sangat jarang berinteraksi dengan tetangga-tetangga. Selama pandemi putri kami belajar daring di rumah. Agar tidak tertinggal pelajaran dan mengisi waktu, kami mendatangkan guru les Tematik, matematika, Bahasa inggris, dan Mengaji Al-Quran.

Sehingga kami merasa heran bagaiman mungkin dia bisa tertular TBC.

Seluruh guru-guru les pun kami berhentikan karena curiga mereka yang menulari putri kami, sedangkan dikeluarga tidak ada sejarah TB dan semua dalam keadaan sehat, dan bahkan selama pandemic covid kami tidak berinteraksi dengan tetangga-tetangga karena takut corona.

Pada awal pengobatan oleh dokter anak (belakangan ternyata salah resep) dia diberi OAT KDT Anak (Rifampizin, Pyrazinamide, Isoniazid - RHZ) yang diminum pagi hari 2 jam sebelum makan sebanyak 3 tablet 1x sehari.

Setelah minum OAT ini, anehnya batuk putri kami semakin parah menjadi-jadi, malamnya tidak bisa tidur, dan malah keluar dahak, padahal awalnya tidak berdahak. Mungkin penyakitnya bereaksi pikirku saat itu.

2 minggu berlalu obat tersebut pun habis, kami kontrol ulang untuk melanjutkan pengobatan. Dokter meminta maaf akibat salah resep obat, pada saat pengobatan usia putri kami 11 tahun dengan BB 47 kg. Berdasarkan pedoman tatalaksana TB anak, seharusnya putri kami meminum 3x1 hari tablet OAT KDT Dewasa. Obat diberikan berdasarkan berat badan, bukan melihat usia. Sehingga dokter menggantinya dengan OAT KDT Dewasa.

Disini saya menjadi ragu untuk meminumkan obat tersebut, sebagai orang tua yang merawatnya dari kecil kami sangat paham dengan kondisi anak dan merasa bahwa anak kami tidak akan mampu mengkonsumsi OAT dewasa.

Kami pun mencari alternatif lain dengan berkeliling mencari dokter anak konsultan respirology (dokter paru anak) supaya obat diganti dengan pecahan dan diracikan sesuai dengan kondisi tubuhnya. Namun dokter respirasi anak ini juga justru meresepkan obat yang sama yaitu OAT KDT Dewasa. Melihat kekhawatiran kami, dokter pun memberi pengantar check darah guna memantau fungsi liver dan ginjal sebelum memulai pengobatannya dengan OAT dewasa.

Tidak ada pilihan, putri kami pun minum OAT Dewasa. Obat merah ini sangat besar-besar sehingga putri kami muntah dan tidak bisa menelan obat. Obat saya hancurkan di sendok yang dicampur air, saya bacakan Al-Fatihah & Ayat kursi setiap minum obat tersebut guna memohon kesembuhan.

Perkiraan saya tepat, hanya 5 hari konsumsi OAT dewasa. Putri kami muntah-muntah, badanya lemas dan kepala pusing. Setelah check darah ternyata obat membuat livernya terganggu (Hepatitis Imbas Obat atau Drug Induce Liver Injury).

SGOT/SGPT naik 5x lipat dari batas normal, dan Billirubin naik 2x lipat. Dokter pun menghentikan pengobatan selama 2 minggu guna menormalkan fungsi livernya. Pada saat ini dokter anak yang menangani menyerah dan meminta kami beralih ke dokter respirasi anak.

Ketika stop obat, putri kami yang semangat untuk sembuh bertanya-tanya keheranan “mama kenapa hari ini tidak minum obat?”

Mamanya menjawab “iya nak, dokternya suruh stop dulu minum obatnya”.

Dengan polosnya dia menimpali “gimana sih ini dokternya, katanya kemarin berobat 6 bulan, kok ini baru beberapa minggu udah stop, dokternya plin-plan ma”.

Dia tidak paham jika livernya terganggu akibat obat sehingga muntah-muntah dan lemas. Dia mengira kondisi badanya yang lemah dan muntah-muntah itu karena penyakitnya.

Saat itu saya mulai panik, cemas dan rasa ketakutan melanda pikiran. Dengan membawa mobil, saya berangkat sendirian ke rumah Ibuku agar istri dan putriku tidak mengetahui kecemasan di wajahku. Sebagai seorang lelaki dan kepala keluarga, maka aku harus bisa menyembunyikan kegundahan dalam hati agar semua tetap optimis dan tidak stress. Selama perjalanan perasaanku bercampur-aduk dengan air mata mengalir dari kedua mata dan hanya Allah yang tahu isi hatiku kala itu. Di depan ibuku dan saudara-saudara, aku tidak kuasa menahan ledakan tangisan, tangisanku pecah dengan sesenggukan. Seluruh kakak-kakak ku pun ikut panik melihatku menangis tersedu-sedu, padahal selama ini aku terlihat tegar dan tenang dalam segala kondisi. Seorang pelaut yang sudah menghadapi ganasnya lautan, berkeliling dunia, dan berkumpul dengan berbagai macam orang dari berbagai negara, kini nampak lemah menangis tersedu-sedu.

Sore harinya keluarga besarku panik dan berhamburan bertandang kerumah untuk memberi dukungan moral. Kakakku pun mencoba mencari pengobatan alternatif dengan doa-doa dari para ulama kyai di pesantren, kami sekeluarga semakin giat beribadah memohon ampunan dan kesembuhan putri kami.

Aku bahkan bernadzar “PUASA SELAMA 1 BULAN NONSTOP TANPA JEDA SEHARIPUN SEBAGAIMANA PUASA RAMADHAN”, jika putriku berhasil sembuh nanti.

Ketika putriku berhenti pengobatan, saya berkeliling ke dokter paru dewasa di klinik respirasi untuk konsultasi. Penjelasan dokter paru membuatku tenang dan kembali optimis akan kesembuhan putriku. Belakangan saya menyesal kenapa tidak menyerahkan penanganan pengobatan putriku kepada dokter paru tersebut.

Untuk menunjang pengobatan non medis, bahkan saya membeli beberapa gallon air zam-zam yang saya rukyah sendiri setiap pagi dan petang untuk diminumkanya.

Dari hasil konsultasi dengan banyak dokter, kebanyakan dokter menyarankan putri kami ditangani oleh dokter respirasi anak dan bukan dokter paru dewasa mengingat usianya masih 11 tahun.

Sehingga ketika fungsi liver putri kami sudah normal, kami memutuskan untuk kembali berobat ke dokter respirasi anak. Namun Qadarullah dokter tersebut ISOMAN akibat COVID dan tidak bisa menangani pengobatan untuk sementara.

Kami pun berkeliling mencari dokter respirology anak lainya yaitu seorang dokter senior bergelar profesor, lagi-lagi Qadarullah tanpa diduga selang beberapa hari setelah kunjungan kami, dokter professor paru anak ini pun meninggal akibat terkena Covid.

Kala itu saya berencana untuk membawa putriku kontrak rumah dan berobat di RSU Persahabatan Jakarta agar mendapat penanganan yang tepat. Rumah sakit ini merupakan gudangnya pakar-pakar dokter spesialis paru. PPKM akibat Covid-19 membuat rencana ini gagal.

Jalan pun terasa buntu, ditengah pandemi setiap hari ada siaran kematian 2 sampai 3 kali per harinya. Semua ini membuat kami semakin down ketakutan, sementara batuk dan intensitas demam putri kami semakin menjadi. Pada saat demam datang tubuhnya juga gemetaran dan jantungnya berdetak cepat sampai 150. Kami semakin panik dan setiap hari berkeliling mencari dokter yang tepat, dari dokter anak spesialis imunolog hingga neurology kami kunjungi. Terakhir ditengah keputus asaan, dokter respirasi anak yang tengah ISOMAN COVID membalas whatsapp saya dan meminta kami kembali ke dokter anak yang pertama kali menangani, kedua dokter tersebut saling kenal dan praktek di rumah sakit yang sama. Dokter respirology anak tersebut memandu dokter anak kami untuk melanjutkan pengobatan putri kami.

Putri kami pun memulai pengobatan dengan rechalange OAT, obat dimasukan satu persatu dengan dosis naik secara perlahan. Pada fase ini ujian kesabaran yang berat mulai semakin terasa, setiap beberapa hari putri kami harus ditusuk-tusuk jarum guna mengambil sampel darah padahal dia sangat takut dengan jarum suntik. Walaupun dia selalu menangis trauma dengan jarum suntik, dengan berbagai cara kami berhasil membujuknya agar berani.

Menurut penilaian saya dokter tersebut kurang pandai dalam rechallange OAT. Rifampizin diminum dengan dosis naik secara bertahap mulai 200 mg, naik 400 mg, dan pada saat dosisnya mencapai 600 mg. trombosit putri kami anjlok 96000 (trombositopenia) dan Billirubin naik 1.74.

Saya mendesak dokter tersebut agar menurunkan dosisnya dan dokter setuju dengan catatan obat ditambah Etambuthol. Dokter kemudian mengubah dosis Rifampizin menjadi 200 mg, namun anehnya ketika evaluasi Rifampizin belum selesai, dokter sudah mulai memasukan Isoniazid secara bertahap.

Ketika dosis obatnya menjadi Rifampizin 200 mg + INH 300 mg, trombosit putri semakin anjlok 56000, SGPT 400, SGOT 200, dan Billirubin 3,2. Malamnya putri kami kuning, muntah-muntah, dan kondisinya semakin lemah.

Rechallange OAT dihentikan lagi dan paginya kami larikan ke UGD untuk perawatan fungsi livernya. Di rumah sakit putri kami di infus dan setelah 3 hari opname, kami diijinkan pulang. Dokter anak yang menangani sudah angkat tangan, kami di rujuk untuk meneruskan pengobatan dengan menunggu dokter respirasi anak selesai ISOMAN.

Opname di RS akibat Drug Induce Liver Injury "DILI"

Sepulang dari rumah sakit, saya melihat badan putriku menjadi bengkak. Ternyata cairan infus terperangkap dalam tubuhnya atau disebut EDEMA ANASARKA. Pada saat masuk UGD RS berat badanya 47 kg, namun saat keluar dari RS berat badanya naik drastis menjadi 51 kg, artinya ada 4 liter cairan infus terperangkap dalam tubuhnya.

Ya Allah Ya Rabb, TB Kelenjar belum terobati kemudian livernya terganggu akibat keracunan OAT dan kini ditambah lagi dengan EDEMA ANASARKA yang membuat putriku susah berjalan akibat nyeri bengkak di tubuh dan kakinya. Sungguh menyedihkan nasib putriku yang tidak berdosa ini..!!!

Saat itu langit yang cerah terasa bagaikan mendung gelap gulita bagi keluarga kami, rumah tidak ada cahaya kebahagiaan, hidup terasa sendiri menanggung duka, dan tangisan menghiba mengaduh memohon kesembuhan kepada Allah menghiasi seisi rumah. “Ya Allah Ya Rabb, kami tidak kuat dengan cobaan ini. Bukankah engkau tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-MU, maka sembuhkanlah putriku wahai Rabbku”, jeritku dalam doa.

Doa-doa dari hadist shohih berikut ini kami panjatkan tanpa henti:

Ya Allah Tuhan segala manusia, jauhkanlah penyakit itu dan sembuhkanlah ia, Engkaulah dzat yang bisa menyembuhkan, tidak ada obat melainkan obat dari-MU, obat yang tidak meninggalkan penyakit sedikit pun. Hilangkanlah penyakit itu, wahai Tuhan pengurus manusia. Hanya pada-MU obat itu. Tidak ada yang dapat menghilangkan penyakit selain ENGKAU, aku mohon kepada-MU wahai Allah yang Maha Agung. Tuhan Arasy yang agung, semoga dia menyembuhkan sakitmu (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian kami sambung doa berikut:

Bismillah…Bismillah...Bismillah..

A’udzu billahi wa qudratihi min syarri ma ajidu wa ukhadiru (7 kali)

Artinya: “Aku berlindung kapada Allah dan kuasa-NYA dari keburukan apa yang kurasakan dan kukhawatirkan”.

Kemudian kami bacakan pada air zam-zam untuk diminumnya surat Al-fatihah, ayat kursi, Al-Ihlas, Al-Falaq, dan An-Naas sebanyak 7x pada pagi dan petang setiap hari.

Namun Allah belum berkenan menjawab doa-doa kami dan belum memberikan jalan kesembuhan bagi putriku.

Saat kondisinya semakin lemah, putri kami semakin menjadi sosok yang lemah lembut dan manis. Wajahnya semakin bersih bersinar.

Suatu ketika dia demam dengan gemetar berkata kepadaku “Abiii apa aku boleh shalatnya di Jamak dan wudhu tayamum, soalnya dingin banget”.

Saat itu, aku yang putus asa dengan doa-doa belum terjawab dari Allah, menjawab pertanyaanya dengan asal-asalan. “Kamu masih anak-anak, tidak shalat pun tidak apa, kalau mau jamak ya di jamak saja, toh doanya abi belum terkabul juga”.

Dia pun tetap menunaikan shalat dengan di Jamak walaupun dengan kondisi yang lemah dan shalat sambil tidur. Bahkan tugas-tugas sekolah dan kegiatan meet online tetap dikerjakanya. Belakangan saya menyesal dan memohon ampun kepada Allah atas jawaban asal-asalan tersebut. 

Dalam kondisi makin lemah, memaksakan diri mengerjakan tugas rekaman B. Inggris

Ketika haus ingin minum, badanya yang semakin lemah membuat dia meminta tolong mamanya untuk diambilkan minuman, setiap diambilkan minuman dia berkata “makasih ya mama, makasih ya abii”.

Suatu sore menjelang maghrib, kudengar suara murattal Al-Quran yang mendayu-dayu dari Masjid seakan-akan menambah rasa sedih. Tiba-tiba putriku berkata “Abii, aku sakit ini merepotkan orang tua yaa, berobatnya habis banyak ya abi”.

Hati terasa teriris mendengar pertanyaan putriku yang masih sekecil itu bisa berpikir sejauh ini.

“Sudahlah, kakak jangan berfikir jauh seperti itu, pokoknya sekarang yakin dan berdoa untuk sembuh. Udah itu saja”, jawabku.

Ketika dokter respirasi anak sudah selesai ISOMAN, saya segera membawanya berobat kedokter tersebut dengan membawa semua hasil laboratorium beserta keluhan bengkak di badanya akibat penumpukan cairan infus.

Lagi-lagi putriku harus ditusuk jarum untuk test darah, rontgen thorax, dan check urine.

Oleh dokter kemudian diberi obat Furosemid atau diuretik agar kencing-kencing untuk mengeluarkan cairan tubuh. 5 hari setelah konsumsi obat diuretik, kami check darah dan urine lagi. Hasilnya obat ini membuat ginjalnya terganggu, dalam urine mengandung protein +1.

Astaghfirullah Hal Adzim, cobaan apa lagi ini Ya Rabb ku.

Pada test laboratorium yang ini, dari konsultasi dengan dokter spesialis paru dan spesialis penyakit dalam di applikasi ALODOKTER. Dokter menyatakan mulai ada cairan efusi pleura di paru-paru putriku. Namun anehnya dokter respirasi anak tersebut tidak mengetahui hal ini.

Dokter respirasi anak segera merujuk putriku ke rumah sakit tempat prakteknya untuk penanganan lebih lanjut.

Dikarenakan badanya bengkak oleh cairan infus EDEMA ANASARKA, gangguan liver, dan trombosit tidak kunjung membaik. Dokter mencurigai dia dengan bermacam-macam penyakit seperti: Leukimia, autoimun, keganasan/kanker, jantung, dan sebagainya. Dokter spesialis hematologi pun dilibatkan untuk memeriksa ada tidaknya kelainan darah, hasilnya semua normal, tidak ada autoimun, dan leukimia. Selanjutnya dokter spesialis jantung turun tangan untuk USG jantung, ternyata disekitar jantung kanan terjadi efusi pericard sebanyak 0.67 liter dan diagnose gagal jantung 1 sebelah kanan yang diduga akibat hipertensi paru (infeksi paru).

Banyaknya cairan ditubuhnya ini juga bocor ke paru-paru. Saya mulai terlibat konflik dengan dokter respirasi anak yang menangani, sebab dokter tersebut setiap 4 hari melakukan rongsent thorak terhadap putri kami. Sedangkan dari konsultasi online ada 2 dokter yang menyatakan paru-parunya mulai terisi cairan dan mereka menyarakan untuk USG Thorax, sementara dokternya kukuh untuk rongsent-rongsent tanpa ada penjelasan kenapa dan tidak bersedia melakukan USG Thorax.

Dengan emosi dokter respirasi anak tersebut menanyakan saya lulusan mana sehingga harus mengintervensi keputusan dokter. Dokter tersebut terlihat arogan dan merasa sangat pandai sehingga saya tidak menceritakan soal konsultasi online agar dia tidak semakin tersinggung.

Karena kondisi putriku yang semakin lemah, sehingga saya tidak ada pilihan selain akur dengan dokter tersebut. Kondisi pandemic yang mengerikan dan susah melakukan pengobatan membuatku susah untuk bergerak mencari alternatif dokter atau rumah sakit lain.

Di Rumah sakit sebenarnya penanganan putri kami dilakukan dengan sangat istimewa dan cepat. Pada hasil rongsent yang terakhir baru dokter paru anaknya bisa menyimpulkan terjadi efusi pleura pada paru-parunya. Saat hasil diagnosa ditemukan tengah malam, saking cepatnya penanganan. Dokter pun datang tengah malam dan menyalakan komputer-komputer USG yang telah mati.

Dari hasil USG Thorax, ditemukan cairan 1500 ml pada masing-masing kedua paru-parunya. Saat itu kami disarankan untuk memindahkan putri kami ke ruang PICU guna dilakukan perawatan intensif dengan bantuan ventilator. Saya menolak untuk keruang PICU mengingat putri kami yang mudah histeris dan stress dengan pemasangan selang ventilator di mulutnya, saya khawatir kondisinya akan semakin buruk akibat stress dengan pemasangan ventilator. Saya mempertanyakan kenapa tidak dilakukan sedot efusi pleura saja agar nafasnya lega, namun dokter bedah menyatakan cairan masih minimal. Dokter kemudian memutuskan agar obat diuretic furosemide dimasukan melalui suntikan supaya maksimal dalam mengeluarkan cairan melalui urine.

Sejak penolakan ke ruang PICU, saya dan istri berjaga 24 jam tanpa tidur secara bergantian dengan memasang oximeter di jari putri kami guna memantau saturasi oksigenya.

3 hari setelah penolakan ke ruang PICU yaitu hari Minggu, 29 Agustus 2021. Entah kenapa tiba-tiba aku membawa ibuku ke rumah sakit untuk mengunjungi putriku. Kemudian siangnya orang tua dari istriku (kakek neneknya juga berhasil masuk untuk berkunjung, padahal situasi pandemic sangat susah untuk bisa akses masuk ruang opname pasien).

Sekitar jam 2 siang, setelah kunjungan kakek dan neneknya. Saturasi oksigen putriku terus menurun drastis hingga 35 %. Keringat dingin bercucuran diseluruh tubuhnya, dia pun berteriak “Mama, panggil dokter ma, panggil dokter, panggil dokter maaa!!”. Kami panik dan segera memanggil dokter dari ruang PICU. Para dokter mendudukanya dengan prone position memeluk bantal, masker oksigen kami plester disekitar mulut dan hidungnya agar tidak bocor, dan kami tepuk-tepuk punggungnya guna menaikan saturasi oksigen. Cara ini berhasil dan saturasi oksigen naik stabil pada angka 95 %. Qadarullah ruang PICU anak yang awalnya penuh tiba-tiba terjadi kegawatan dan pasien meninggal. Dari jam 2 siang hingga jam 8 malam (5 jam) putri kami duduk dengan prone position memeluk bantal sambil mulut di plester masker oksigen untuk menunggu pembersihan ruang PICU sepeninggal pasien sebelumnya. Subhanallah, sungguh semangat hidup yang luar biasa telah dia tunjukan.

Jam 8 malam dia pun masuk ruang PICU, tubuhnya di penuhi kabel-kabel perekam jantung, digital oximeter, selang infus, dan selang ventilator. Di ruang PICU putriku berontak minta pulang bersamaku akibat tidak nyaman dengan banyaknya peralatan ditubuhnya, keadaan ini membuat saturasi oksigen kembali drop. Dokter pun menyuntikan obat sedasi/anestasi (bius) agar dia tertidur. Ditengah antara sadar dan tidak sadar akibat obat bius, saturasi oksigen terus menurun. Kami pun diminta meninggalkan ruangan karena dokter memutuskan untuk memasukan selang ventilator lewat mulutnya kedalam paru-paru dengan kaki dan tangan terikat (sebab dia masih setengah sadar). Bagi saya ini seperti penyiksaan yang sangat berat dan jangan ditanya seperti apa perasaan kami kala itu.

Setelah selang ventilator berhasil terpasang, maka dilakukanlah rongsent thorax ulang. Hasilnya sungguh seperti petir ditengah malam buta, seluruh paru-paru putri kami telah dipenuhi dengan cairan..!!!!.

Artinya hanya dalam waktu 3 hari dari USG Thorax, seluruh paru-paru putri kami tiba-tiba penuh dengan cairan. Dokter pun kebingungan dengan penyebab keadaan ini, namun dari analisa dokter jantung yang kami hubungi secara online. Cairan infus yang menyebabkan badanya bengkak telah bocor ke paru-paru akibat jantung kanan sudah kelelahan (gagal jantung 1) sehingga tidak bisa memompa cairan tubuh secara maksimal.

Dokter memutuskan untuk melubangi punggungnya guna evakuasi cairan efusi pleura melalui selang WSD. Kami hanya bisa mengiyakan seluruh upaya tindakan dokter.

Ternyata putriku hanya menunggu kakek neneknya datang sebelum kondisi kritis dan tidak sadarkan diri yang menimpanya, buktinya dia masuk ruang PICU setelah kunjungan kakek neneknya.

Kuselimuti kepalanya dengan jaketku ketika di ruang PICU akibat AC yang terlampau dingin.

Tengah malam sesaat setelah putri kami masuk ruang PICU, kami mendengar sayup-sayup suara. “Laillahaillallah….Laillahaillallah….Laillahaillallah….Laillahaillallah……”. Badan kami serasa gemetar menggigil shock mendengar suara itu, suara itu seolah-olah suara iringan para pengantar jenazah. “Kenapa ada suara ini ketika putriku masuk ruang PICU?, apakah ini hanya halusinasiku saja?” gumamku dalam hati.

Dengan perasaan campur aduk aku mencari-cari dari mana sumber suara tersebut, ternyata suara tersebut berasal dari dzikir pasien korban kecelakaan di ruang UGD yang menjerit kesakitan. Perasaan kami pun kembali tenang.

Sekitar jam 3 pagi, nampak sepasang suami istri keluar dari ruang PICU. Orang tersebut terlihat menenteng tagihan pembayaran dengan wajah basah oleh air wudhu dan air mata. Dengan ramah orang tersebut menyapa kami “Bapak/Ibu silahkan menggantikan tempat kami, hari ini kami keluar dari ruang PICU dan pulang”.

Saya berbisik kepada istriku “Alhamdulillah, senangnya orang itu karena anaknya sudah sembuh dan bisa pulang”.

Namun pemandangan yang terjadi berikutnya membuat kami shock, selepas dari loket pembayaran dia masuk lagi keruang PICU untuk mengambil anaknya. Ternyata dia keluar dari ruang PICU dengan mendorong keranda mayat.

“Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun, pantas saja wajahnya tadi nampak basah dengan air wudhu dan air mata. Ternyata dia pulang membawa jenazah anaknya dan bukanya sembuh”, bisiku kepada istriku.

Hari itu kami tidak dapat memejamkan mata sedikit pun, mata kami basah dengan air mata dan mulut tanpa henti ber-Istighfar kepada Allah. Di tengah keheningan malam, pikiranku terbang mengingat proses pengobatan putriku yang kian hari justru kian memburuk. Kubisikkan kepada istriku “kita harus ihlas dengan keadaan Izyan. Jika memang Izyan nanti akan di panggil menghadap Allah maka kita harus berusaha untuk kuat, sabar, dan ihlas”.

Istriku pun menangis mengaduh sambil berkata “Lhoh abiii, ini kita kerumah sakit untuk mencari obat dan kesembuhan, kenapa malah kondisinya makin buruk dan harus meng-ihlaskan”.

Kuceritakanlah kronologi pengobatanya yang selalu salah jalan dan kondisinya justru makin memburuk, seolah-olah ini adalah pertanda bahwa Allah akan segera memanggilnya.

Ledakan tangis istri semakin tidak tertahan, kulihat dia sesenggukan sambil menepuk-nepuk dadanya. Dadanya terlihat sakit menahan kesedihan.

Siang hari kami meeting dengan kepala tim dokter gawat darurat guna membahas progress penanganan dan keadaan putri kami. Ternyata setelah punggung dilubangi dan cairan dikeluarkan dari paru-parunya, terjadi penambahan cairan sebanyak 170 ml/hari yang belum diketahui bocor darimana. Dokter kemudian memasang pompa otomatis yang mampu mengisap cairan ketika terjadi penambahan.

Dokter meminta persetujuan kami untuk melakukan biopsi kelenjar di lehernya untuk memastikan ada tidaknya keganasan pada kelenjar getah bening. Permintaan ini saya tolak.

“Jika dokter bisa menjamin kesembuhan putri kami, maka mari kita lakukan tindakan biopsy. Namun jika dokter tidak yakin, saya tidak mau menyakiti dan menambah penderitaan putri kami lagi. Punggung sudah lubang, mulut di pasang selang ventilator, pembuluh darah ditusuk untuk memasukan obat, dan kini leher pun mau dioperasi untuk biopsi. Dokter harus menstabilkan kondisinya dulu, baru kemudian kita melangkah ke tahap lebih lanjut seperti biopsy”, kataku kepada dokternya.

Dokter memahami perasaan kami, saya pun menanda tangani surat penolakan.

Sejak putriku masuk di ruang PICU, setiap hari di rumah ibuku selalu mengaji Al-Quran Bersama-sama dengan dibantu oleh kakak-kakakku, budhe dan paman-pamanku. Derai air mata seluruh keluarga besar tertumpah untuk putriku tatkala memanjatkan doa.

Kakak-kakaku pun kembali berkeliling ke pesantren untuk memohon doa ulama kyai guna kesembuhan putriku.

Setiap hari kami disuguhi pemandangan memilukan melihat jerit tangis orang tua mendorong keranda mayat anaknya keluar dari ruang PICU. Irama-irama mesin dari ruang PICU seakan-akan suara musik pemanggil kematian. Kami diperlihatkan keadaan yang lebih tragis daripada yang kami alami. Ada yang meninggal karena leukimia, jantung, dan sebagainya. Kami seolah merasa hanya menunggu giliran. 

Ketika kondisi putri kami semakin kritis, dokter seakan mengisyaratkan bahwa kondisinya sudah sulit untuk diselamatkan. Menurut dokter tersebut dalam kondisi seperti ini ada 3 hal yang biasanya mungkin terjadi, yaitu antara lain:

  1. Pasien dibawa pulang oleh keluarga dengan catatan seluruh peralatan dimatikan sendiri oleh keluarga, artinya orang tua tersebut yang membunuh anaknya.
  2. Pasien diberi obat sedasi/bius dan penghilang rasa nyeri hingga meninggal tanpa tindakan apapun.
  3. Pasien diberi obat sedasi/bius, penghilang rasa nyeri, dan dilakukan tindakan pengobatan. Dengan resiko setiap tindakan pengobatan bisa saja dapat memperparah kondisi kritisnya.

Melihat semangat hidup putri kami yang sangat tinggi, maka saya bertekad untuk dilakukan tindakan pengobatan. Tujuan kerumah sakit adalah berobat dan kami tidak akan menyerah hingga tetes darah terakhir.

Disamping evakuasi efusi pleura melalui selang WSD, putri kami juga tetap diberi obat diuretik furosemide, obat jantung, antibiotic. Karena banyaknya obat yang masuk maka obat-obat ini harus masuk melalui pembuluh darah besar yang ada di selangkangan, sebab jika obat dipaksakan masuk melalui pembuluh darah di lengan maka beresiko pecahnya pembuluh darah.

Banyaknya obat yang masuk membuat ginjalnya semakin terganggu, cairan urine sudah bercampur dengan darah dan protein +2.

“Allahu Akbar…!!!!. Betapa berat penderitaanmu naak”. Gumamku.

Pembengkakan kelenjar getah bening akibat TB, liver terganggu akibat OAT, efusi pleura akibat cairan tubuh yang bocor, efusi pericard di jantung, dan kiniiiiiiii ginjalnya pun terganggu…!!!!!

Mamanya hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil menepuk-nepuk dadanya yang sakit menahan kesedihan, dia pun berkata lirih “Ya Allah, cukup Ya Allah, jangan Engkau siksa lagi putriku. Jika Engkau ingin mengambilnya maka ambilah, tapi janganlah biarkan putriku menderita begini. Dia masih belum punya dosa apa-apa Ya Allah Ya Rabb…!!!!!!”.

Akupun shalat dengan berlinang air mata dan berdoa “Ya Allah Ya Rabb. Jika Engkau berkenan memyembuhkan putriku maka segera sembuhkan dan berilah dia obat yang tidak akan meninggalkan sakit sedikitpun. Namun jika Engkau tidak berkenan menyembuhkanya, maka ambilah dia secepat mungkin dengan sebaik-baiknya dan tanpa rasa sakit sedikitpun agar dia tidak semakin tersiksa. Jangan Engkau siksa lagi putriku dengan penyakitnya”.

Keadaanya sakitnya yang semakin berat memaksa kami untuk ihlas melepas kepergianya, namun kami tetap tidak putus asa dan tetap ihktiar menyerahkan penangan pengobatanya kepada tim dokter sambil pasrah menunggu keputusan Allah.

Hari ke-3 di ruang PICU, malam itu aku merasa rindu dengan putriku. Akupun berbisik di telinganya “Aku rindu kakak, Ya Allah Ya Rabb seandainya aku bisa melihat putriku bangun tentu aku akan sangat bahagia”. Ajaibnya dini hari jam 0300 pagi, putriku mulai menggerak-gerakan tangan dan matanya mulai berkedip-kedip lemah. Saat adzan subuh berkumandang kami tinggalkan dia untuk shalat subuh dan mandi. Sekembalinya dari mandi, kami terheran-heran. Tangan dan kaki putri kami telah diikat akibat kesadaranya yang pulih total. Saat melihatku datang dia seperti berteriak minta tolong, namun dia muntah-muntah akibat selang ventilator dimulutnya. Ketika kami mendekat, putri kami duduk dengan histeris dan berusaha melepas seluruh peralatan yang terpasang pada tubuhnya. Dokter segera mengambil tindakan dengan menambah suntikan cairan obat sedasi/bius agar dia tertidur kembali. Sejak saat itu aku betul-betul takut untuk memintanya bangun kembali.

Hari ke-5 di ruang PICU, Rabu 01 September 2021. Kami silaturahmi sebentar ke panti asuhan guna meminta bantuan doa dari anak yatim piatu, sedangkan kakakku datang dengan air rukyah yang telah dibacakan ayat kursi oleh lebih 1000 santri guna mendoakan kesembuhan putri kami. Air itu pun kuusapkan kesuluruh tubuhnya dengan membaca ayat kursi, saat itu kulihat mata putriku berkedip sebentar. Kami segera memanggil dokter karena takut dia tersadar yang tentu saja membuat dia merasa kesakitan, obat pereda nyeri pun ditambahkan.

Malamnya orang tua dari teman-teman sekolah putri kami menelpon dan memberikan semangat, mereka berpesan “Jaga wudhu,,,,Jaga wudhu,,,,dan jangan sampai batal, jika batal segera wudhu lagi……Ngaji,,,ngaji,,,,dan mengaji..!!!”.

Malam itu selepas maghrib, masih di hari yang ke-5 di ruang PICU. Aku mendekat ketelinga putriku dan berbisik “Putriku, abi tahu kakak sakit. Jika kakak sudah tidak kuat menahan rasa sakit, kakak tidak usah bertahan. Kami tahu semangat kakak begitu tinggi, namun kami juga tahu kakak sakit banget. Kami ihlas jika kakak mau pergi, InSyaAllah kita akan dipertemukan lagi kelak di yaumul akhir. Pergilah anakku, kami ihlas”.

“Putriku jika engkau ingin pulang kepada Allah, jangan pulang siang hari yaa nak. Karena abi tidak mau kamu dikerubungi banyak dokter dan perawat. Jika ingin pulang, pagi-pagi saja sebelum subuh”. Jangan tanyakan perasaan kami seperti apa ketika mengucapkan kalimat itu.

Kuputar rekaman suara Murattal Al-Quran disamping putriku hingga khatam. Tepat jam 12 tengah malam dokter memanggil kami karena kondisinya semakin memburuk. Kami mengaji, membaca syahadat, dan ber-istigfar disampingnya.

Menjelang subuh jam 0354 pagi, hari kamis tanggal 02 september 2021. Putri kami menghembuskan nafas terakhirnya di ruang PICU, tepat seperti ucapanku yang memintanya untuk pulang di pagi buta.

Allahu Akbar….Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Raji’un.

“Putriku….Jika aku tidak bisa merawatmu di dunia, maka setiap hari aku tidak akan pernah berhenti untuk berdoa meminta kepada Allah agar memberikan tempat yang mulia (syurga) bagimu”.

Seluruh jalan sudah kami tempuh dari berobat medis, minum air zam-zam, herbal, doa, sedekah, nadzar puasa, kurban, maupun silaturahmi ke para ulama kyai untuk mendoakan kesembuhanya telah dilakukan.

Namun takdir Allah tidak bisa di ubah “Umur tidak dapat dimajukan maupun diundurkan dengan segala cara”.

Putriku kumakamkan didekat kubur ayahku di kampung ibuku agar dekat dengan keluarga besar. Walaupun kami sudah tidak berdomisili di kampung kelahiranku itu, namun masyarakat berduyun-duyun mengantar pemakamanya, shalat jenazah memenuhi ruang tamu rumah ibuku.

Di sekolahnya pun menggelar doa bersama yang dihadiri seluruh wali murid dari TK hingga SD.

Gojeg-gojeg setiap hari berkirim makanan dari para orang tua yang merasa terpukul dengan kepergian putriku.

Makam putriku berdekatan dengan kubur Alm. Ayahku.

Sejak kepergianya tanggal 02 September 2021 hingga 29 Oktober 2021, kami dan paman-pamanya setiap hari berkunjung ke makam untuk mendoakanya. Perjalanan sakitnya yang luar biasa telah menjadi magnet bagi semua orang untuk datang mendoakanya.

Bahkan hingga hari ini saat kutulis kisah ini, kakaku masih rajin berziarah kemakamnya.

Jum’at 29 Oktober 2021 sebelum kembali bertugas berlayar ke Timur tengah Saudi Arabia, seperti biasa kami selalu rajin menziarahi makamnya setiap hari. Namun hari itu terasa berbeda, aku tergugu menahan tangis tetapi kutahan agar tidak menitikan air mata diatas pusaranya. Kemudian diatas pusara ayahku dengan sesenggukan kukatakan “Wahai ayah, aku makamkan cucumu berdekatkan dengan kuburmu, tolong dijaga dan ditemani cucumu ini. Duhai ayahku. Jangan biarkan dia merasa sepi sendiri di alam barzakh sana”. Aku tahu orang mati sudah tidak dapat berbuat apapun karena alam barzakh adalah dinding yang memisahkan dengan kehidupan dunia, namun ini semua hanyalah luapan emosiku semata.

Tetesan air mata dan lantunan doa mengiringi kepergian putriku.

Ya Allah Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim.

“Ampuni dan maafkanlah seluruh kesalahanya, kasihilah ia, sayangilah ia, rahmatilah ia, berilah ia kekuatan, sejahterakan ia, beratkanlah timbangan amal kebaikanya, dan tempatkanlah ia ditempat yang mulia (Surga), luaskan dan terangilah kuburnya, lindungilah ia dari siksa kubur dan siksa api neraka, mandikan ia dengan air yang jernih dan sejuk, bersihkan ia dari segala kesalahan bagaikan baju putih yang bersih dari kotoran, dan berilah dia ganti rumah yang jauh lebih baik daripada rumahnya (didunia). Masukkanlah dia ke dalam surga".

“Ya Allah Ya Rabb, Lindungilah putriku dari gelapnya dan siksa kubur”.

“Ya Allah, jadikanlah kepergian putri kami ini sebagai pahala dan simpanan bagi kami kedua orang tuanya dan jadikanlah ia sebagai pemberi syafaat yang dikabulkan doanya. Ya Allah, dengan musibah ini, beratkanlah timbangan amal kebaikan kami dan berilah kami pahala yang agung. Ya Allah, kumpulkanlah putri kami dengan orang-orang sholeh dan jadikanlah ia dipelihara oleh Nabi Ibrahim. Ya Allah, peliharalah ia dengan rahmat-MU dari siksaan jahim. Ya Allah berilah ia ganti rumah yang jauh lebih baik daripada rumahnya (didunia). Ya Allah, berilah ia keluarga yang lebih baik daripada keluarganya (didunia). Ya Allah, ampunilah pendahulu-pendahulu kami, anak-anak kami, dan orang-orang yang mendahului kami dalam keimanan.”

Ya Allah yang Maha pengasih dan Maha penyayang, kasihi dan sayangi lah putriku lebih dari rasa sayang kami terhadapnya.

Tempatkan dia di tempat yg mulia (Surga).

Aamiin ya Rabbal alaamiin.

 

Saudi Arabia, 21 November 2021.